Monday, December 26, 2005

HASTA MITRA: Bertarung Melawan Pembodohan

Razif Menulis di bawah rezim represif adalah pekerjaan berat. Tidak semua orang melakukannya. Tapi menerbitkan buah pikiran yang direpresi dan menghadirkannya kepada publik di bawah represi adalah pekerjaan luar biasa. Apalagi jika yang melakukannya adalah kumpulan orang yang lebih dulu dianiaya dalam tahanan dan harus hidup sebagai “warga kelas dua” di negeri sendiri. “Kami hadir saat Soeharto sedang kuasa-kuasanya,” kenang Joesoef Isak dengan bangga. Kebanggaan yang patut kiranya. Ia adalah editor Hasta Mitra, yang didirikan bersama Hasjim Rachman dan Pramoedya Ananta Toer bulan April 1980. Selama 21 tahun berdiri, perusahaan penerbit itu menyiarkan hampir seluruh karya Pramoedya yang ditulis di Pulau Buru dan mencetak ulang sebagian karyanya sebelum ditahan, seperti Perburuan dan Panggil Aku Kartini Saja. Usaha itu tentu bukan tanpa masalah. Di tahun 1980-an Orde Baru tengah mencapai puncak kejayaannya. Segala bentuk perlawanan, mulai dari PKI, kaum nasionalis, ulama sampai mahasiswa berhasil diredam dan kontrol militer berlaku di segala bidang. Kehidupan sosial-budaya dirasuki semangat “penertiban dan penyeragaman”, di mana pikiran berbeda adalah ancaman, dan mereka yang melakukannya bisa dianggap berkhianat terhadap bangsa dan negara. Sekeping Pernyataan Demokrasi Awalnya sederhana. Tahun 1973 Pramoedya yang ditahan di Pulau Buru diberi sedikit keleluasaan untuk melanjutkan kerja kreatif. Hasrat lama untuk menyusun siklus sejarah Indonesia dalam bentuk cerita pun kembali ditekuninya. Dengan bahan yang serba terbatas ia mulai menceritakan jilid pertama Bumi Manusia kepada tahanan yang lain di sawah-ladang maupun barak penampungan. Baru dua tahun kemudian ia mulai menulis atas jasa beberapa tahanan yang memperbaiki dan menyerahkan mesin tik tua Royal 440 untuknya. Hasjim Rachman, mantan pemimpin redaksi Bintang Timur, yang ikut menikmati kisah-kisah Pramoedya suatu saat mendatanginya dan meminta izin untuk menerbitkannya setelah bebas. Pramoedya pun setuju. “Suatu persetujuan lisan, tanpa bukti, tanpa saksi. Tetapi di balik itu kami berdua menyadari: penerbitan adalah sekeping pernyataan demokrasi,” tulis Pramoedya beberapa tahun kemudian. Di tengah ketidakpastian nasib sebagai tahanan Orde Baru pembicaraan berlanjut membahas rencana-rencana mewujudkan niat itu. Bulan April 1980 selepas dari tahanan, Hasjim dan Pramoedya menemui Joesoef Isak, mantan wartawan Merdeka yang belasan tahun mendekam di Rutan Salemba. Diskusi berkembang, dan kesepakatan dicapai untuk menyiarkan karya eks-tapol yang selama ini tidak mendapat sambutan dari penerbit lain. Awalnya mereka berniat tidak hanya menerbitkan karya tulis, tapi juga menyiarkan rekaman musik, lukisan dan hasil kerja kreatif lainnya. “Kami mau membuktikan kepada dunia bahwa dari Pulau Buru juga bisa lahir hal-hal yang positif, bukan hanya cerita sedih dan penderitaan saja,” kata Hasjim ketika itu. Pembagian kerja dimulai. Pramoedya terus menulis dan memperbaiki naskah-naskah yang disusunnya selama di tahanan. Dua di antaranya, Mata Pusaran dan Oroh Ratusanagara, sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Setelah keluar dari tahanan, naskah Ensiklopedi Citrawi Indonesia yang disusunnya bertahun-tahun jadi sasaran. Bulan September 1979 seorang kapten TNI-AL datang mengambil semua naskahnya dan setelah itu tak pernah kedengaran kabarnya lagi. Joesoef bertindak sebagai editor berbekal pengalaman belasan tahun menjadi wartawan sekian suratkabar sebelum 1965, sementara Hasjim menangani segi usaha dan keuangan. Bulan Mei mereka sepakat menggunakan nama yang dicipta Pramoedya saat masih mendekam di tahanan, Hasta Mitra (Tangan Sahabat). Tidak banyak milik mereka sekeluar dari penjara. Rumah keluarga Joesoef di kawasan Duren Tiga disulap jadi kantor dengan peralatan serba terbatas. Hanya ada satu mesin tik listrik Olivetti yang dipakai bergantian oleh Pramoedya dan Hasjim untuk menggarap pekerjaan mereka. “Modal awal kami ambil dari dapurnya Hasjim,” kenang Joesoef. Beberapa kerabat dan sahabat yang simpati kemudian memberi tambahan modal sehingga Hasta Mitra bisa mulai berjalan. Tetralogi Buru: Demokrasi Hasil Keringat Sendiri Naskah pertama yang mereka pilih untuk diterbitkan adalah Bumi Manusia, jilid pertama dari kisah pergerakan nasional Indonesia antara 1898-1918. Pramoedya kembali bekerja keras memilah tumpukan kertas doorslag yang berhasil diselamatkannya dari Pulau Buru. Hampir semua naskah aslinya ditahan oleh penguasa kamp dan sampai hari ini belum dikembalikan. Dalam waktu tiga bulan ia berhasil menyalin kembali dan merajut tumpukan kertas lusuh yang dimakan cuaca menjadi naskah buku. Hasjim dan Joesoef sementara itu berkeliling menemui beberapa pejabat pemerintah, termasuk wakil presiden Adam Malik, yang ternyata memberikan sambutan baik. Awal Juli 1980 naskah Bumi Manusia dikirim ke percetakan Aga Press dengan harapan terbit menjelang peringatan Proklamasi. Cetakan pertama keluar tanggal 25 Agustus, agak meleset dari harapan semula karena alasan teknis. Hari-hari yang sungguh berarti karena setelah sekian tahun kerja paksa dan setelah lepas dilarang bekerja, kini mereka menikmati hasil kerja sendiri yang pertama. Bagi Pramoedya penerbitan Bumi Manusia, seperti yang dicatatnya, berarti “suatu kebulatan tekad, keikhlasan, dan sekaligus ketabahan untuk memberikan saham pada perkembangan demokrasi di Indonesia - dan bukan demokrasi warisan sah kolonial, demokrasi hasil keringat sendiri”. Bumi Manusia memang pilihan yang tepat. Dalam waktu 12 hari sekitar 5.000 eksemplar habis terjual. Hasjim sampai kewalahan melayani permintaan dari segala penjuru, termasuk dari Malaysia, Belanda dan Australia. Iklan kecil yang dipasangnya di harian Kompas ditelan oleh berita dan tinjauan panjang-lebar dari sejumlah penulis. Walau mendapat pembayaran penuh dari agen dan toko buku, cetakan kedua langsung dipesan. Dalam bulan November Hasta Mitra sudah membuat cetakan ketiga, dan berhasil menjual sekurangnya 10.000 eksemplar. Dan sambutan pun semakin ramai, mulai dari kritikus Jakob Soemardjo dan Parakitri Simbolon sampai artis remaja Yessy Gusman yang menyebutnya “karya sastra yang terbagus saat ini.” Harian Angkatan Bersenjata yang dikelola Mabes ABRI pun menyebutnya sebagai “sumbangan baru untuk khasanah sastra Indonesia”. Pemasukan awal cukup lumayan sehingga Hasta Mitra bisa membenahi ruang kantornya dan mempekerjakan 20 pegawai, yang hampir semuanya adalah eks-tapol. “Hasta Mitra memang tidak untuk cari untung, tapi juga menampung teman-teman yang kesulitan. Waktu itu banyak kantor yang tutup pintu kalau pelamarnya pernah mendekam di tahanan,” kata Joesoef. Seorang kerabat yang simpati memberi sumbangan mesin typeset CR-Tronics yang sangat canggih untuk zamannya dan melengkapi beberapa perabot yang diperlukan. Keberhasilan pertama membuahkan bayangan indah di benak ketiganya. Niat untuk ikut menyumbang pada perkembangan ilmu dan seni semakin membesar. “Mimpi saya sudah macam-macam, bahkan kalau bisa punya koran lagi,” kata Joesoef. Tidak semua mimpinya terwujud, terutama karena rezim Orde Baru mulai menganggapnya sebagai ancaman yang harus ditindak. Pelarangan: Bukan Hanya Membelenggu Pikiran Keberhasilan Bumi Manusia sudah tentu membuat penguasa gerah. Dua hari sebelum cetakan pertama keluar, kantor Hasta Mitra ditelepon oleh Kadit Polkam Kejaksaan Agung. Petugas itu meminta agar buku itu tidak diedarkan sebelum ada clearance dari pihaknya. Permintaan yang aneh tentunya, karena menurut aturan Kejaksaan Agung hanya berwenang melarang buku yang sudah diterbitkan. Pada pertengahan September Hasjim dipanggil oleh Kejaksaan Agung. Tiga hari ia harus melayani pertanyaan para jaksa pemeriksa yang mengatakan bahwa Bumi Manusia “mengandung teori Marxisme terselubung”, tanpa menjelaskan maksudnya tentu saja. Tidak ada kata putus. Sementara itu sejumlah tokoh masyarakat, sastrawan dan pejabat pemerintah mulai menyambut tuduhan kejaksaan. Dengan caranya sendiri-sendiri mereka membenarkan bahwa karya itu memang “mengandung ajaran Marxis” walau selalu gagal menunjukkannya dengan jelas. “Saya heran kenapa banyak intelektual yang sebenarnya sadar, justru bungkam,” kenang Joesoef. Ia berulangkali bertemu dengan ilmuwan, sastrawan dan tokoh kebudayaan yang mengaku “penggemar berat Pramoedya”, tapi tidak memberi pendapat apa pun ketika karyanya dilarang. Kejaksaan pun merangsak maju. Tidak puas dengan tuduhannya sendiri mereka mulai beralih mempersoalan status Pramoedya sebagai eks-tapol. Percetakan Ampat Lima yang memproduksi Bumi Manusia pun jadi sasaran. Pemiliknya berulangkali dipanggil dan diminta agar tidak mencetak terbitan Hasta Mitra. Redaktur media massa pun ditelepon agar tidak memuat resensi apalagi pujian bagi karya Pramoedya. Tetap tidak ada keputusan resmi dan Hasta Mitra bergerak lagi mengeluarkan buku Anak Semua Bangsa. Sambutan pun makin meluas sampai ke daerah-daerah, dan beberapa penerbit di luar negeri mulai menghubungi Hasjim dan Pramoedya, meminta izin menerbitkan edisi bahasa asingnya. Reaksi pun semakin besar. Pertengahan April 1981 beberapa organisasi pemuda ciptaan Orde Baru menggelar diskusi yang isinya mengecam karya Pramoedya. Hasil diskusi ini kemudian disiarkan melalui media massa sebagai “bukti keresahan masyarakat”, modal penting bagi Kejaksaan Agung untuk menetapkan larangan. Suratkabar pendukung Orde Baru seperti Suara Karya, Pelita dan Karya Dharma mulai menerbitkan kecaman terhadap Bumi Manusia dan pengarangnya. Sambutan yang semula baik mulai melemah. Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang akan menyelenggarakan pameran buku tahunan, tiba-tiba mengirim surat pembatalan ke alamat Hasta Mitra. Padahal sebelumnya panitia kelihatan sangat bergairah mengajak penerbit itu menjadi anggota dan turut serta dalam kegiatan-kegiatannya. Suratkabar yang semula simpati semakin jarang memberi tempat dan bahkan beberapa tulisan yang siap naik cetak tiba-tiba dibatalkan, hanya karena penulisnya memuji kedua karya Pramoedya. Masalah semakin jelas ketika tanggal 29 Mei 1981 Jaksa Agung mengeluarkan SK-052/JA/5/1981 tentang pelarangan Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Dalam surat itu antara lain disebutkan sepucuk surat dari Kopkamtib yang keluar seminggu sebelumnya, dan Rakor Polkam tanggal 18 Mei 1981. Pelarangan itu sepenuhnya adalah keputusan politik dan tidak ada kaitannya dengan nilai sastra, argumentasi ilmiah serta alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya. Surat keputusan itu memperkuat persekutuan Orde Baru untuk menghantam Hasta Mitra. Para perwira tinggi militer, termasuk Pangkopkamtib Soedomo, selalu menyempatkan diri untuk berkomentar tentang karya Pramoedya. Sebelumnya di markas Kodam Jaya ada pertemuan khusus antara sastrawan dan intelektual yang memberi “landasan ilmiah dan kultural” kepada pejabat militer untuk mengomentari karya-karya Pramoedya. “Menariknya, ada juga di antara mereka yang di masa reformasi malah ikut-ikutan menyambut Pramoedya sebagai penulis besar,’ kata Joesoef sambil tersenyum. Gempuran itu bukan hanya dirasakan Hasta Mitra. Bulan September 1981, penerjemah Bumi Manusia ke dalam bahasa Inggris, Maxwell Lane, yang juga staf kedutaan besar Australia di Jakarta, dipulangkan oleh pemerintahnya. Perusahaan Ampat Lima yang mencetak kedua karya pertama juga akhirnya mundur karena tekanan dari Kejaksaan dan aparat keamanan. Akibatnya saat hendak menerbitkan Sang Pemula dan Jejak Langkah tahun 1985, Hasjim terpaksa mencari percetakan kecil di kawasan Kramat yang dikelola seorang ibu tua dan anak-anaknya. Bagi Hasta Mitra yang “bermodal dengkul”, pelarangan itu adalah masalah serius. Semua agen dan toko buku didatangi oleh Kejaksaan Agung yang menyita semua eksemplar Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Beberapa di antaranya malah mengambil inisiatif menyerahkannya secara sukarela. Tapi anehnya sampai Agustus 1981, hanya ada 972 eksemplar yang diterima oleh Kejaksaan Agung, dari sekitar 20.000 eksemplar yang beredar. Rupanya banyak agen dan toko buku yang malah memilih menjual eksemplar yang tersisa di bawah tangan. Masalahnya tak satu pun agen dan toko itu membayarnya kembali kepada Hasta Mitra, sehingga pendapatan mereka terus merosot. Pada pertengahan tahun 1980-an toko buku Hasta Mitra di Senen praktis menjadi satu-satunya tempat menjual terbitan mereka secara terbuka. Tapi karena hutang bertumpuk, akhirnya toko itu terpaksa ditutup. Niat menerbitkan karya eks-tapol yang lain pun diurungkan. “Itulah esensi pelarangan buku-buku kami: untuk menghancurkan kegiatan Hasta Mitra secara politik maupun ekonomi,” kata Joesoef. Ekspansi di Tengah Represi Pelarangan demi pelarangan boleh jadi meredam sambutan di negeri sendiri, tapi tidak demikian halnya di luar negeri. Hanya beberapa bulan setelah Bumi Manusia keluar, sejumlah penerbit di Hongkong, Belanda dan Australia mendekati Hasta Mitra untuk mendapat hak terjemahan. Kesepakatan pun dibuat. Pramoedya sebagai penulis tetap mendapat royalti sementara Hasta Mitra hanya bertindak sebagai perantara. Penerbit Wira Karya di Malaysia adalah yang pertama menerbitkan ulang Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dengan membayar royalti sebesar 12% langsung kepada Pramoedya. Setelah kedua buku itu dilarang, Hasjim mulai berusaha menjual eksemplar yang masih tersisa di gudang ke luar negeri. Ia menghubungi sejumlah perpustakaan, pusat penelitian dan toko buku, tapi tidak selalu mendapat tanggapan positif. Di tengah kesulitan lagi-lagi ada pertolongan dari beberapa sahabat yang mengumpulkan modal 50.000 gulden untuk mendirikan cabang perusahaan di Amsterdam dengan nama terjemahan dalam bahasa Latin, Manus Amici. Penerbit dan toko buku itu terletak di pusat kota Amsterdam dan dikelola oleh Edi Tahsin, eksil Indonesia dari Tiongkok yang sejak 1977 bermukim di Belanda. Bulan September 1981 ia menerbitkan terjemahan Bumi Manusia dalam bahasa Belanda, disusul oleh Anak Semua Bangsa. Tapi tidak semua kegiatannya berjalan mulus. Di Belanda, Manus Amici tidak hanya menerbitkan buku. Banyak dana yang dikirim dari Jakarta ternyata habis untuk membantu para eksil, mulai dari menyeberangkan mereka di perbatasan negara Eropa Barat sampai mengurus paspor dan izin tinggal. Hasil penjualan buku dalam bahasa asing pun banyak disalurkan untuk kegiatan seperti itu sehingga modalnya tidak pernah berkembang. “Memang sejak awal Hasta Mitra punya misi membantu teman-teman yang kesulitan. Untung itu perkara nomer dua,” kata Joesoef. Modal awal sebesar 50.000 gulden pun amblas dalam waktu beberapa tahun, dan Manus Amici pun gulung tikar. Dan selanjutnya penerbitan dalam bahasa asing - saat ini karya Pramoedya sudah diterbitkan sekurangnya dalam 12 bahasa - ditangani langsung dari kantor di Jakarta. Di samping itu ada juga penerbit yang menerbitkan karya Pramoedya tanpa membayar royalti sesen pun. Di Malaysia misalnya penerbit Abbas Bandung mengeruk untung cukup besar dari penjualan karya Pramoedya, termasuk Keluarga Gerilya yang sejak tahun 1970-an menjadi bacaan wajib di sekolah menengah. Pertengahan 1987 karena jengkel Pramoedya pernah menuntut penerbit Pustaka Antara pimpinan Datuk Aziz Ahmad karena dianggap tidak membayar royalti seperti seharusnya. Sekalipun harus menanggung rugi, para pendiri Hasta Mitra merasakan banyak “keuntungan” lain. Konsep “tangan sahabat” berkembang karena banyak aktivis yang membantu menyalurkan buku-buku terbitannya, mengadakan diskusi dan bahkan menggunakan hasil penjualan untuk membiayai penerbitan mereka sendiri. Di samping itu juga ada keluarga eks-tapol yang bisa mereka bantu seadanya menghadapi tekanan yang hebat secara ekonomi, sosial maupun politik. Tanpa direncanakan sebelumnya, dalam waktu beberapa tahun jaringan distribusi dan pembaca buku terbitan Hasta Mitra terbentuk. Bagi aktivis mahasiswa di zaman itu membaca terbitan Hasta Mitra menjadi semacam “syarat pergaulan” dan bahkan bacaan wajib untuk mereka yang tertarik pada nasib negerinya. “Itulah sumbangan Hasta Mitra bagi gerakan demokrasi. Di samping menyumbang gagasan tentang sejarah bangsa ini, terbitan kami juga bisa digunakan oleh orang lain untuk mengembangkan kegiatannya sendiri,” kata Joesoef. “Hasta Mitra mungkin satu-satunya penerbit yang bisa bertahan 21 tahun tanpa melakukan akumulasi modal. Dan memang karena bukan itu kehendak kami.” Menjadi Penerbit Gerakan Sejak awal para pendiri tidak terlalu peduli masalah administrasi. Dunia penerbitan bagi mereka adalah bagian dari perjuangan. Di tahun pertama-tama pernah juga seorang pejabat BNI menawarkan kredit ringan karena melihat prospek usaha yang cerah. Ada juga yayasan besar yang tertarik untuk memberikan dana. Tapi semuanya mundur teratur setelah larangan pertama dijatuhkan oleh Jaksa Agung. Uluran “tangan sahabat” ternyata lebih banyak disambut oleh komunitas aktivis pro-demokrasi dan kalangan intelektual dan pekerja kreatif yang terlibat maupun bersimpati pada perjuangan itu. Dari segi bisnis, menurut Hasjim, yang paling berjasa menyebarkan terbitan Hasta Mitra adalah agen dan toko buku kecil. Perusahaan mapan lainnya baru mulai nimbrung setelah Soeharto turun tahun 1998. Sebuah penerbit besar yang terkenal di Jakarta dalam tahun pertama “reformasi” bahkan ingin membeli hak cipta karya Pramoedya dari Hasta Mitra. “Tapi setelah keadaan mulai berbalik, dan serangan-serangan terhadap buku kiri mulai terjadi, mereka mundur teratur,” ujar Joesoef sambil tertawa. Banyak juga kalangan yang menganggap Hasta Mitra bisa mengeruk untung besar setelah pembatasan terhadap terbitan mereka dilonggarkan. “Itu tidak betul,” kata Joesoef. “Buktinya dalam tahun pertama setelah Soeharto jatuh, kami tidak menerbitkan satu eksemplar pun. Karena uangnya tidak ada.” Baru akhir 1999 mereka mulai bangkit dengan menerbitkan Arok Dedes, bekerjasama dengan sebuah perusahaan percetakan di Yogyakarta. Dengan kerjasama ini untuk pertama kalinya Hasta Mitra bisa membayar royalti Pramoedya sebesar 17,5% di muka. Bulan Oktober 1999 Hasjim Rachman meninggal dunia setelah bertarung melawan kanker di tenggorokannya selama beberapa tahun. Setelah itu semua kegiatan penerbitan, mulai dari penyuntingan naskah, lay-out, mengurus percetakan dan distribusi ditangani sendiri oleh Joesoef Isak. “Padahal urusan duit, aku lebih ceroboh dari Hasjim,” katanya. Ditambah lagi kebiasaannya memberi bantuan ke sana-sini sehingga kadang uang dapurnya sendiri terbawa-bawa. Beberapa kerjasama pun dijajaki, antara lain dengan QB Books dan Equinox Publishing, walau masih tersendat-sendat. Perjalanan keliling ke Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa juga membuahkan hasil, antara lain bantuan modal. Di usia 73 tahun ia masih bersemangat dan terus memikirkan cara mengembangkan Hasta Mitra sebagai penerbit gerakan untuk menegakkan demokrasi dengan keringat sendiri. RAZIF

0 Comments:

Post a Comment

<< Home