REKSADANA SAHAM ANDA OKE APA OYE ?
"Jon, lihat neh laporan bulanan terakhir dari reksadana
saham gue! Return-nya setahun terakhir 30% ! Hebat kan!" Demikian si
Polan membanggakan hasil investasinya di reksadana saham. Memang
banyak investor reksadana saham di Indonesia akhir-akhir ini
terlihat senyum lebar. Pasalnya, pasar saham Indonesia merupakan
salah satu pasar saham yang memberikan imbal hasil (return) terbaik
di dunia pada tahun 2004 dan nomor dua setelah Thailand di Asia pada
tahun 2003. Total return kumulatif selama 2 tahun terakhir di Bursa
Efek Jakarta mencapai lebih dari 150% !
Kembali kepada pernyataan si Polan, apa benar reksadana
saham si Polan return 30% per tahun ini hebat? Kalau cuma melihat
angka return-nya yang 30% kemudian dibandingkan dengan deposito yang
tahun lalu bunganya setelah pajak hanya sekitar 5%, memang return
30% terlihat hebat. Tapi, apa benar pembanding yang tepat adalah
bunga deposito? Tentu tidak. Pasalnya, bunga deposito diperoleh
dengan menanggung risiko yang relatif sangat kecil alias nyaris
tanpa deg-degan. Sementara itu, investasi di reksadana saham
memerlukan syaraf cukup kuat agar mampu menanggung deg-degan akibat
naik turunnya hasil investasi.
Jadi, apa sebenarnya yang bisa dikategorikan hebat? Bagaimana
mengukurnya? Pada intinya, bagus atau tidaknya suatu investasi
tergantung pada perimbangan antara imbal hasil dan risikonya.
Prinsipnya, semakin tinggi (rendah) risiko yang ditanggung investor,
semakin tinggi (rendah) pula return yang selayaknya diperolehnya.
Demikian Bahasa kerennya: Higher Risk, Higher Return; Lower Risk,
Lower Return!
Return diukur dengan persentase peningkatan nilai investasi. Makin
tinggi return, makin baik bagi investor. Untuk risiko, pengukurannya
bisa bermacam cara. Salah satu cara yang sering digunakan adalah
dengan mengukur gejolak perubahan nilai investasi. Ukuran untuk
gejolak tersebut adalah simpangan baku (standard deviation). Makin
tinggi simpangan baku imbal hasil investasi, makin tinggi pula
risiko yang dihadapi investor. Bila investasi tidak membawa gejolak
nilai, maka dikatakan risikonya nihil. Investasi pada deposito atau
pada sertifikat Bank Indonesia (SBI) termasuk dalam kategori
investasi bebas risiko menurut ukuran simpangan baku tersebut. Jadi,
bagi investasi yang bebas risiko, sewajarnya investor mendapatkan
imbal hasil setara dengan bunga SBI. Logisnya, untuk investasi yang
berisiko (yaitu nilai investasinya bisa naik turun, seperti saham
misalnya), selayaknyalah investor memperoleh kompensasi berupa
tambahan return di atas suku bunga bebas risiko.
Bandingkan imbal hasil dan risiko
Menggunakan logika tersebut, untuk mengukur perimbangan antara
return dan risiko investasi dalam reksadana saham, digunakan angka
perbandingan antara dua besaran: (1) selisih return reksadana dan
suku bunga bebas risiko, angka selisih ini mencerminkan kompensasi
yang diterima investor untuk menanggung risiko; dan (2) risiko
reksadana. Untuk komponen (2) digunakan besaran simpangan baku dari
return pada beberapa periode di masa lalu. Hasil bagi antara (1) dan
(2) terkenal sebagai besaran Sharpe Ratio. Asal tahu saja, William
Sharpe adalah pemenang hadiah Nobel Ekonomi tahun 1990 karena
gagasannya yang terkenal yaitu Capital Asset Pricing Model (CAPM)
atau model penilaian aset modal.
Sebenarnya dalam CAPM, ukuran risiko yang digunakan bukanlah angka
mentah simpangan baku, melainkan suatu besaran yang dinamakan BETA.
BETA adalah ukuran perbandingan gejolak return suatu aset atau
portofolio (yang kinerjanya ingin diukur) relatif terhadap gejolak
return pasar yang menjadi tolok ukur. Bila pasar bergoyang 1% dan
ternyata aset atau portofolio juga ikut bergoyang 1% maka BETA aset
atau protofolio itu adalah 1. Bila pasar bergoyang 1% dan ternyata
aset atau portofolio juga ikut bergoyang namun goyangannya lebih
(kurang) dari 1%, maka BETA aset atau portofolio itu adalah lebih
(kurang) dari 1. Untuk reksadana saham di Indonesia, tolok ukurnya
bisa menggunakan return Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang pada
intinya mencerminkan pergerakan rata-rata harga semua saham di Bursa
Efek Jakarta.
Bila untuk komponen (2) digunakan BETA sebagai pengganti simpangan
baku, maka hasil bagi antara (1) dan (2) dinamakan Treynor Ratio,
untuk mengenang penggagasnya Jack Treynor. Berdasarkan rasio itulah
reksadana saham harus dibandingkan satu sama lain dan juga
dibandingkan dengan rasio yang sama untuk kinerja pasar secara
keseluruhan (dengan menggunakan IHSG sebagai portofolio pasar). Yang
pasti investor akan mengharapkan Sharpe Ratio atau Treynor Ratio
dari reksadananya positif (ini artinya return reksadana lebih besar
dari suku bunga bebas risiko). Selanjutnya, makin besar Sharpe Ratio
atau Treynor Ratio reksadana anda, makin baik pula kinerja reksadana
anda (ini berarti untuk setiap satu unit risiko yang anda tanggung,
anda memperoleh kompensasi berupa tambahan return yang lebih besar).
Kembali ke kasus si Polan, misalkan simpangan baku return reksadana
si Polan besarnya 25%, sementara suku bunga bebas risiko 10%, return
IHSG 40% dan simpangan baku return pasar 20% pada periode yang sama.
Berdasarkan data tersebut, Sharpe Ratio reksadana si Polan adalah
(30% - 10%) / 25%, yaitu 0,8. Ini artinya, untuk setiap 1% risiko
yang ditanggung si Polan, ia mendapatkan kompensasi berupa tambahan
return sebesar 0,8%. Sementara itu, Sharpe Ratio untuk pasar adalah
(40% - 10%) / 20%, yaitu 1,5. Ini artinya, untuk setiap 1% risiko
yang ditanggung rata-rata investor di pasar tersebut, mereka
memperoleh kompensasi berupa tambahan return sebesar 1,5%. Jadi
reksadana si Polan, meski sepintas tampaknya oke, ternyata oye neh!
Selain menggunakan Sharpe Ratio dan Treynor Ratio, masih ada
beberapa cara standar lain untuk mengukur kinerja reksadana,
misalnya dengan Jensen Alpha. Jensen Alpha pada intinya melihat
selisih antara return yang diperoleh reksadana dengan return yang
seharusnya diterima investor setelah memperhitungkan BETA reksadana,
return pasar, dan suku bunga bebas risiko. Selisih yang positif
(negatif) berarti bagus (jelek). Makin besar selisihnya, makin baik
kinerja reksadana.
Selanjutnya, dengan teknik yang lebih canggih berdasarkan CAPM, kita
bisa membedakan reksadana mana yang hebat dalam kemampuan pemilihan
sahamnya (bahasa kerennya stock selection ability), dan reksadana
mana yang hebat dalam kemampuan memprediksi arah pergerakan pasar
saham secara umum (bahasa kerennya market timing ability).
Satu hal yang perlu diingat, bahwa ukuran-ukuran itu mengukur
kinerja masa lalu, bukan prediksi masa depan. Kinerja masa lalu
tidak selalu mencerminkan kinerja di masa depan. Tetapi paling tidak
gambaran masa lalu bisa digunakan sebagai salah satu pertimbangan
untuk memilih reksadana tempat anda berinvestasi untuk masa depan.
Yang pasti sih, semua investor harus selalu teliti sebelum membeli.
===============================
Untuk meraih sukses, bergaullah dengan orang-orang sukses.
Napoleon Hill.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home