Monday, December 05, 2005

REKSADANA SAHAM ANDA OKE APA OYE ?

"Jon, lihat neh laporan bulanan terakhir dari reksadana saham gue! Return-nya setahun terakhir 30% ! Hebat kan!" Demikian si Polan membanggakan hasil investasinya di reksadana saham. Memang banyak investor reksadana saham di Indonesia akhir-akhir ini terlihat senyum lebar. Pasalnya, pasar saham Indonesia merupakan salah satu pasar saham yang memberikan imbal hasil (return) terbaik di dunia pada tahun 2004 dan nomor dua setelah Thailand di Asia pada tahun 2003. Total return kumulatif selama 2 tahun terakhir di Bursa Efek Jakarta mencapai lebih dari 150% ! Kembali kepada pernyataan si Polan, apa benar reksadana saham si Polan return 30% per tahun ini hebat? Kalau cuma melihat angka return-nya yang 30% kemudian dibandingkan dengan deposito yang tahun lalu bunganya setelah pajak hanya sekitar 5%, memang return 30% terlihat hebat. Tapi, apa benar pembanding yang tepat adalah bunga deposito? Tentu tidak. Pasalnya, bunga deposito diperoleh dengan menanggung risiko yang relatif sangat kecil alias nyaris tanpa deg-degan. Sementara itu, investasi di reksadana saham memerlukan syaraf cukup kuat agar mampu menanggung deg-degan akibat naik turunnya hasil investasi. Jadi, apa sebenarnya yang bisa dikategorikan hebat? Bagaimana mengukurnya? Pada intinya, bagus atau tidaknya suatu investasi tergantung pada perimbangan antara imbal hasil dan risikonya. Prinsipnya, semakin tinggi (rendah) risiko yang ditanggung investor, semakin tinggi (rendah) pula return yang selayaknya diperolehnya. Demikian Bahasa kerennya: Higher Risk, Higher Return; Lower Risk, Lower Return! Return diukur dengan persentase peningkatan nilai investasi. Makin tinggi return, makin baik bagi investor. Untuk risiko, pengukurannya bisa bermacam cara. Salah satu cara yang sering digunakan adalah dengan mengukur gejolak perubahan nilai investasi. Ukuran untuk gejolak tersebut adalah simpangan baku (standard deviation). Makin tinggi simpangan baku imbal hasil investasi, makin tinggi pula risiko yang dihadapi investor. Bila investasi tidak membawa gejolak nilai, maka dikatakan risikonya nihil. Investasi pada deposito atau pada sertifikat Bank Indonesia (SBI) termasuk dalam kategori investasi bebas risiko menurut ukuran simpangan baku tersebut. Jadi, bagi investasi yang bebas risiko, sewajarnya investor mendapatkan imbal hasil setara dengan bunga SBI. Logisnya, untuk investasi yang berisiko (yaitu nilai investasinya bisa naik turun, seperti saham misalnya), selayaknyalah investor memperoleh kompensasi berupa tambahan return di atas suku bunga bebas risiko. Bandingkan imbal hasil dan risiko Menggunakan logika tersebut, untuk mengukur perimbangan antara return dan risiko investasi dalam reksadana saham, digunakan angka perbandingan antara dua besaran: (1) selisih return reksadana dan suku bunga bebas risiko, angka selisih ini mencerminkan kompensasi yang diterima investor untuk menanggung risiko; dan (2) risiko reksadana. Untuk komponen (2) digunakan besaran simpangan baku dari return pada beberapa periode di masa lalu. Hasil bagi antara (1) dan (2) terkenal sebagai besaran Sharpe Ratio. Asal tahu saja, William Sharpe adalah pemenang hadiah Nobel Ekonomi tahun 1990 karena gagasannya yang terkenal yaitu Capital Asset Pricing Model (CAPM) atau model penilaian aset modal. Sebenarnya dalam CAPM, ukuran risiko yang digunakan bukanlah angka mentah simpangan baku, melainkan suatu besaran yang dinamakan BETA. BETA adalah ukuran perbandingan gejolak return suatu aset atau portofolio (yang kinerjanya ingin diukur) relatif terhadap gejolak return pasar yang menjadi tolok ukur. Bila pasar bergoyang 1% dan ternyata aset atau portofolio juga ikut bergoyang 1% maka BETA aset atau protofolio itu adalah 1. Bila pasar bergoyang 1% dan ternyata aset atau portofolio juga ikut bergoyang namun goyangannya lebih (kurang) dari 1%, maka BETA aset atau portofolio itu adalah lebih (kurang) dari 1. Untuk reksadana saham di Indonesia, tolok ukurnya bisa menggunakan return Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang pada intinya mencerminkan pergerakan rata-rata harga semua saham di Bursa Efek Jakarta. Bila untuk komponen (2) digunakan BETA sebagai pengganti simpangan baku, maka hasil bagi antara (1) dan (2) dinamakan Treynor Ratio, untuk mengenang penggagasnya Jack Treynor. Berdasarkan rasio itulah reksadana saham harus dibandingkan satu sama lain dan juga dibandingkan dengan rasio yang sama untuk kinerja pasar secara keseluruhan (dengan menggunakan IHSG sebagai portofolio pasar). Yang pasti investor akan mengharapkan Sharpe Ratio atau Treynor Ratio dari reksadananya positif (ini artinya return reksadana lebih besar dari suku bunga bebas risiko). Selanjutnya, makin besar Sharpe Ratio atau Treynor Ratio reksadana anda, makin baik pula kinerja reksadana anda (ini berarti untuk setiap satu unit risiko yang anda tanggung, anda memperoleh kompensasi berupa tambahan return yang lebih besar). Kembali ke kasus si Polan, misalkan simpangan baku return reksadana si Polan besarnya 25%, sementara suku bunga bebas risiko 10%, return IHSG 40% dan simpangan baku return pasar 20% pada periode yang sama. Berdasarkan data tersebut, Sharpe Ratio reksadana si Polan adalah (30% - 10%) / 25%, yaitu 0,8. Ini artinya, untuk setiap 1% risiko yang ditanggung si Polan, ia mendapatkan kompensasi berupa tambahan return sebesar 0,8%. Sementara itu, Sharpe Ratio untuk pasar adalah (40% - 10%) / 20%, yaitu 1,5. Ini artinya, untuk setiap 1% risiko yang ditanggung rata-rata investor di pasar tersebut, mereka memperoleh kompensasi berupa tambahan return sebesar 1,5%. Jadi reksadana si Polan, meski sepintas tampaknya oke, ternyata oye neh! Selain menggunakan Sharpe Ratio dan Treynor Ratio, masih ada beberapa cara standar lain untuk mengukur kinerja reksadana, misalnya dengan Jensen Alpha. Jensen Alpha pada intinya melihat selisih antara return yang diperoleh reksadana dengan return yang seharusnya diterima investor setelah memperhitungkan BETA reksadana, return pasar, dan suku bunga bebas risiko. Selisih yang positif (negatif) berarti bagus (jelek). Makin besar selisihnya, makin baik kinerja reksadana. Selanjutnya, dengan teknik yang lebih canggih berdasarkan CAPM, kita bisa membedakan reksadana mana yang hebat dalam kemampuan pemilihan sahamnya (bahasa kerennya stock selection ability), dan reksadana mana yang hebat dalam kemampuan memprediksi arah pergerakan pasar saham secara umum (bahasa kerennya market timing ability). Satu hal yang perlu diingat, bahwa ukuran-ukuran itu mengukur kinerja masa lalu, bukan prediksi masa depan. Kinerja masa lalu tidak selalu mencerminkan kinerja di masa depan. Tetapi paling tidak gambaran masa lalu bisa digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk memilih reksadana tempat anda berinvestasi untuk masa depan. Yang pasti sih, semua investor harus selalu teliti sebelum membeli. =============================== Untuk meraih sukses, bergaullah dengan orang-orang sukses. Napoleon Hill.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home